Kamis, 27 Maret 2014

ROMAN BUKAN PICISAN



BUKAN ROMAN PICISAN

Roman bukan nama orang dan nama tempat. Namun sepercik cerita yang ada dalam hidup perempuan sederhana RIMA dengan IDRUS.
Zamanku berbeda dengan zaman cerita dulu, yang dipertemukan dalam suatu kejadian bertabrakan atau tak sengaja bertemu dalam pesta. Zamanku ini sudah canggih dengan segala kemajuan teknologinya, dengan segala macam media sosialnya seperti facebook, twitter, instagram, whatapp dan lainnya.
Dia ternyata kakak kelas yang aku kagumi sejak dulu, bukan karena keaktifan dalam kegiatan organisasi. Namun karena prestasi yang di ceritakan oleh teman ku sendiri. Lina bilang kepada ku kalau dia adalah salah seorang siswa yang sangat pandai dalam hal komputer, menceritakan semua yang dia alami ketika terpilih dalam kegiatan tersebut. Iri rasanya aku dengan nasib Lina ini, bisa bercanda bersama dengan si Dia. Namun aku pun senang mendengarkan hal itu karena temanku sendiri terpilih mengikuti kegiatan tersebut.
Suatu malam...
Rasa penasaran yang menghampiri ingin sekali aku bisa mengenal dan dekat dengan Dia. Tuhan itu maha adil, Dia menjawab semua keinginanku dimalam itu, namun dengan sebuah usaha juga..(hehehe)
Ku cari nama Dia dalam jejaring sosial facebook. Eits... sebenarnya aku sudah mengenal dia, bahkan sudah sampai ejek-ejekan karena nama ku ini Rima dia memanggilku “Soimah” kalau untuknya tentu aku pun ada nama ejekan tapi rahasia ah..
Setelah berteman di facebook, pertama aku yang mengiring inbok sampai larut malam, hari berikutnya pun sama sampai dimana hari aku tak menjumpainya dalam keadaan ON. Menunggu dan menunggu dia tak kunjung dia hadir, sampai hari berikutnya dan berikutnya. Merasa mulai pesimis, harapanku yang tadi FULL sekarang tinggal 25% saja. Ku tulis sebuah status “Ingin rasanya aku meminta no. Dia “.
Tuhan ku selalu sayang dengan ku, harapan itu mulai terisi lagi ternyata Dia tahu status aku ini, balasan dia pun kuterima “Kenapa kok kayanya rima marah, kalau mau nih no. Aku 085xxxxxxxx aku sudah jarang OL”. Malu rasanya seperti apa saja aku ini, tapi ya sudahlah syukuri saja yang sudah dia kasih.
Semangat ’45 aku pun muncul kembali, seperti matahari muncul dari belakang ku “Criiiiiing” (ilustrasi kartun sinchan). Karena aku yang suka dengan dia tak aku sia-siakan untuk langsung mengirim pesan singkat “Assalamualaikum... Selamat pagi..” aku lupa lanjutanya. Hehehe
Sampai di hari yang menurutku istmewa “25 ... 2012“
Mungkin aku yang mengungkapkan rasa yang sudah aku pendam namun tetap terlihat olehnya, “Aku ini suka sama kamu, ngerti engga sih?”, Alhamdulilah dia pun merespon baik, kalau tidak “Gubrak....Malunya aku, mana panji, mana panji? hehehe”
“Ya udah, Rima mau engga jadi pacar aku?”, ih.... udah tahu akunya suka masa mau bales tidak mau, ya langsung “iya, Aku mau” atau aku bales “Engga.............. tapi engga mau nolak kamu”. Hemmmmmmmmmm........
Tepat jam 00.15, resmi dong jadian di sms, tapi masa Cuma lewat sms, langsungnya kapan?
Jangan di kira Idrus ini cuek lalu tak berani yah, WOW banget menurutku.
Hubungan ini kami jalani, aku yang suka dengannya malah aku pula yang sering menyakitinya. Kalau kata orang “hubungan kalau tak ada krikil itu tak asik, bagai sayur tanpa kuah.” Hehehe
Munculah masalah pertama dari sahabat perempuan dia yang ternyata menyuakinya. Sedih bukan karena aku tak suka, namun sedih ku karena takut kalau nanti aku kehilangan dia. Namun, kejujuran dan keterbukaan dia membuat aku percaya. (hemmmmmm so sweet).
Mungkin hubungan pertama kami ini di mulai dengan rasa yang berbeda, dia menerima ku karena dia ingin menyemangatiku saja. Belakangan ini dia jujur berkata seperti itu, harga sebuah kejujuran itu mahal dan aku tak dapat membayarnya kecuali dengan rasa percaya ku ini. Kata dia “Dulu memang karena aku ingin menyemangati saja, namun sekarang sudah ada rasa sayang yang lebih”
Tak masalah aku ingin tetap bersama dia kok J
Sudah ku bilang, aku sering menyakitinya. Jika dirumuskan maka seperti ini
Sakit hati Idrur = Rima tak jujur + Rima tak terbuka + Rima sering buat kesal +Dll
Hahaha..... banyak banget.
Memang benar, Idrus itu penyemangat aku sampai pada kenaikan kelas aku masuk 3 besar, namun kenaikan itu juga menjadi momen kelulusan Dia. Sedih tapi kenapa harus sedih toh bisa ketemuan.
Aku ingin menunjukkan kepadanya, dalam hati pun ingin berkata “a’, aku masuk tiga besar karena a’ juga makasih buat semuanya”. Hemmmmm walau tak dapat berucap seperti itu, ucapan itu aku tulis dalam sebuah pesan.
Sosok mandiri yang ku kenal ini, harus pergi ke Jakarta untuk belanja karena dia membuka konter HP, ini yang membuatku tak dapat mengetakannya langsung. Sesibuknya dia tetap aku selalu diperhatikan kok, buktinya dia mengantarkan pulang aku.
Tak semulus jalan tol kata orang...
Sehabis jalan, tepat di rumahku dia bilang “Rima, mending kita putus dulu biar kita sama-sama fokus di pendidikan”. hancur hati aku seketika mendengarnya, tapi mau bagaimana menurutnya ini hal yang terbaik yang bisa dia lakukan (Crang.... kaca terpecah).
Putus kami pun tak berarti kami hilang komunikasi, aku tak pernah menganggap hubungan ini putus, dia tetap pacar yang baik tak ada kata mantan dalam hati dan pikiranku karena semangat aku ini ada dalam dirinya.
Sampai di suatu keadaan yang membuat keadaan seperti dulu.
Diawali dari kesalahanku berujung pada kembalinya hubungan kami.
Aku tak bisa melupakan dia, karena aku merasa dia sudah tak mau denganku lagi, aku pun mencoba membuka hati untuk yang lain dan ternyata dia adalah sahabatnya Idrus.
Aku dengan sahabatnya hanya bertahan hitungan hari, karena perasaanku tak dapat dibohongi aku teramat sayang dengan dirinya. Ku katakan “Mending kita berteman saja, sekalipun kita lanjutkan hubungan ini akan menyakitkan diantara kita”.
Hari itu ke-20 puasa, rasa kangen yang mendorongku untuk menghubungi Idrus kembali, senang rasanya hati ku ketika dia membalas, ku ceritakan kembali rasa sayangku padanya yang belum ada yang menggantikan, menangis ketika aku baca sms balasannya, dia pun merasakan hal yang sama. Aku tak mau mensia-siakan untuk sekarang ini, kami pun bercerita tentang hal yang kami alami ketika tak bersama beberapa bulan lalu. Ku tahu rasanya dan dia tahu rasaku.
Aku tak mau menjadi Rima yang dulu, yang sayang namun menyakitkan
Ku tanamkan dalam hati ku yakinkan dalam diri, Aku akan menjaga hatimu seperti kau jaga hatiku samapai kapanpun, dan semoga Tuhan menjadikan sebagai pasangan halal.

Derai air mata
Tangis bahagia
Duka atau lara yang membekas
Dalam dirimu yang aku lakukan
Kejujuran kan ku utamakan
Keterbukaan akan mengikuti dengan sayang ku ini
Menengoklah kebelakang
Namun....
Ku mohon jadikan sebuah pengalaman
Pengalaman akan kisah dua mudi ini
Muda yang akan berganti tua
Tua ini akan berubah renta
Dan pada saat itu...
Itu.... Itu. . . .
Sandaranku ingin TUHAN dan KAMU

25 Mei 2012
ACSQI & IQ5H

Senin, 17 Maret 2014

ZIARAH UNTUK ZAHRA



ZIARAH UNTUK ZAHRA
Ku usap lembut
Ku ium aroma wangi
Rumah terakhirmu
Ku lantunkan ayat-ayat terindah untukmu
Bahagianya aku bisa menintai dan menyayang
Walau
Bibirku belum teruap sedikitpun apa yang hati rasa
Namun
Aku tahu
Aku yakin
Engkau tahu yang selama ini aku rasa
Zahrah...
Ziarah yang dapat aku lakukan
Untukmu
Sayap-sayap surgaku







ZIARAH UNTUK ZAHRA

Seindah namanya secantik orangnya sesantun sifatnya itu lah Zahra, tidak menghalangi semangatnya walau dia telah ditinggal ibunya 16 tahun yang lalu. Bukan karena tak sayang bukan karena ekonomi tapi memang itu takdir sang kuasa illahi. Zahra kecil adalah sosok periang, mandiri dan pandai, dia dituntut mandiri karena hanya bersama ayahnya ia tinggal.
Ayahnya adalah seorang pedagang yang berkeliling dari desa satu ke desa lainnya. Sebut saja namanya Salim, suatu ketika terlintas dalam fikirnya “Anakku sendiri di rumah, aku terus berkeliling haruskah aku menikah lagi untuk teman dia di rumah?”. Tak sengaja dalam perjalanan pulang Salim pun bertemu dengan seorang janda yang tak asing baginya di warung makan, ternyata janda manis tersebut adalah Aminah.
“Aminah..?” sapaan dia dengan penuh tanda tanya.” Apa benar engkau Aminah?” Lanjutnya.
“Benar” dengan singkat jawabnya.
“masih ingatkah kau dengan teman kecilmu ini?” Salimpun melanjutkan tanyanya
“Aku kurang ingat, kalau boleh tahu siapa engkau”? Aminah berbalik tanya
“Halim” jawabnya dengan penuh semangat
Berfikir sejenak...
“Oh.... Halim” sedikit ingat Aminah tentang kawan keilnya tersebut, “Bagaimana kabarmu dan keluargamu” sambung tanyanya
“seperti yang kau lihat, aku masih seperti dulu tak berubah sedikitpun” jawabnya dilanjutkan tanya kembali “Ini anakmu”?
“iya, namanya Fathimah, kau punya anak berapa?”
“Seperti kau, aku pun mempunyai gadis manis yang bernama Zahra”
Dialog antara kawan lama pun mulai melebar kemana-mana, dari mulai masa keil mereka sampai sekarang yang berstatus Janda dan Duda.
Singkat erita, karena merasa Aminah adalah sosok pengganti ibu Zahra maka tak segan lagi dia bertanya kepada Aminah “Mau kah engkau ikut ke gubugku untuk menjadi pengganti ibu Zahra”
Sejenak terdiam..
Bertanyaan pun berulang kembali “ Mau atau tidak Aminah?”
Diamnya Aminah terulang kembali.
“Apa kau juga mau menjadikan Fatimah seperti anakmu sendiri?” tanya Aminah
Dengan tegas “Tentu saja, anakmu anakku dan begitu pun anakku adalah anakmu”.
“Baik lah aku mau” dengan senyuman mengembang dari bibirnya.

Samapai lah di rumah.
“Assalamualaikum” Salim memberi salam dengan ketukan pinyu. . . tok tok tok
Sahut salam terdengar dari dalam rumah “Wa’alaikumsalam”
“Zahrah, bapak pulang” lanjut Salim memberi tahu
Pintu pun terbuka dan nampak lah seorang remaja antik dari baliknya.
“Bapak, ayo masuk pak” dengan gembira sambutnya
“iya. . . iya. . .iya, lihat siapa yang bapak bawa pulang”.
Tanya Zahra pun terucap “Siapa ibu dan anak ini pak?”
“ini ibu Aminah yang nanti akan menemanimu selama bapak pergi dan juga itu Fatimah yang akan menjadi saudaramu.” Jelasnya
Bingung berampur dalam fikirnya “aku harus bagaimana satu sisi aku senang melihat bapak bahagia, namun satu sisi pun aku belum bisa menerima sosok pengganti ibu”.
“Zahrah, kenapa terdiam begitu, senangkan punya ibu dan saudara?” uap Salim
Jawabnya pun hanya dengan mengganguk dan senyuman, walau tak tahu apa yang tergambar dalam senyumnya. “Ayo, masuk” lanjutnya
Risau hatinya karena takut jika kasih sayang ayahnya kepada ibu titinya akan mengalahkan kasih sayang terhadap dirinya.

Suatu sore..
Zahrah duduk di pinggir sungai masih dengan kekhawatirannya.
“Zahrah. . . Zahrah. . .” Panggil sahabatnya
Tidak dengar atau tidak menghiraukan panggilan itu, Zahrah tetap diam
“aaah. . .” kagetnya, ketika ditepuk bahunya itu
“iih.. ngagetin Zahra aja” lanjutnya dengan wajah kesal
“Gimana sih, di panggil engga nengok” tanya sahabatnya
“Masa?” Zahra pun mengelak “Aku tak mendengar suara kamu memanggilku”
“ya sudahlah. Kenapa dengan kau duduk sendiri dan melamun seperti itu?” kembali bertanya
“Aku bukan melamun, namun aku hanya menikmati indahnya desaku saja” Elaknya Zahra
“jujur itu lebih baik” lajut Sahabatnya
Akhirnya, Zahra meneritakan apa yang sedang ia fikirkan dan yang ia alamuni kepada sahabatnya yang bernama Ali.

Ali adalah anak dari kepala desa, yang sejak keil menjadi sahabat Zahra. Namun seiring mereka tumbuh dewasa Ali menyadari bukan hanya rasa sayang sebagai sahabat ada rasa lain yang terus bergelayut dalam hatinya.
“Begitu li.” Selesai meneritakan kekhawatirannya “Aku harus bagaimana?” tanya Zahra
“Kenapa harus menakutkan hal yang belum tentu terjadi?, ibu tiri itu tak selalu jahat atau akan merebut kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya, jadi menurutku jalani saja dan tetap optimis, kata guru ngajiku sih begitu?”
“hemmm. . .  guru ngajimu guru ngajiku juga li” sambung Zahra
“hahahaha” tawa pun terdengar dari keduanya.

Seperti biasa, Ayah Zahrah harus berkeliling untuk berdagang.
“Bu, titip Zahra dan Fatimah.” Pinta Salim
“Iya pak, ibu pasti menjaga anak kita selama bapak menari nafkah” jawab Aminah
Salim pun berpamitan dengan Zahra, Fatimah dan juga isterinya Aminah
“Wassalamualaikum” pamitnya
“wa’alaikumussalam” jawab ketiga wanita tersebut
“Hati-hati pak, epat pulang” lanjut Zahrah

Selepas Salim pergi “Ayo epat masuk, rapikan rumah dan ui semua pakaian juga piring ya Zahra” akap ibu tirinya.
Apa yang ditakutkan pun menjelma menjadi kenyataan pahit.
“Kenapa hanya Zahrah bu? Kak Fatimah tak membantuku?” Zahra pun bertanya dengan heran
“Membantumu? Engga mau, nanti badanku pegal-pegal semua” Sahut Fatimah
Dilanjut ibunya “iya, ngapain kamu mengajak kakakmu, biarkan dia istirahat”
Sangkal Zahra”Tapi bu. . .” “Sudah epat kerjakan, banyak omong tak akan selesai-selesai” tegas ibu Aminah
“Baik bu.” Kepasrahan Zahra

Zahra pun dengan ikhlas menyelesaikan semua tugas yang dibri ibunya, tak ada keluhan yang keluar dari bibirnya, namun hanya sebuah harapan menanti ayahnya pulang dan akan bererita keluh kesahnya.

Hari demi hari pun dia lalui dengan emohan dari ibu dan kakak tirinya, sampai ayahnya pulang keadaanpun berubah normal kembali, namun seperti mimpi buruk menghampirinya jika ayahnya berdagang kembali.
Hanya Ali tempat Zahrah bererita, namun Ali pun hanya bisa menjaga Zahra untuk beberapa detik saja, karena ia tak kuasa untuk memberi tahu ayahnya Zahra tentang kelakuan Ibu dan Kakak tirinya. Tak ada bukti yang bisa dia buktikan.
Lambat tahun berganti, karena mendapat siksaan dari Ibu dan kakak tirinya, fisik Zahra pun melemah dan terus melemah.
Sampai akhirnya nama Zahra binti Salim tertulis dalam Batu Nisan.
Ketika Salim pulang, hanya tubuh Zahrah yang sudah kaku yang ia dapat dengan luka lebam di badan.
“Kenapa dengan anakku, bangun nak bapak sudah pulang, katanya kau ingin bergurau dengan ayahmu ini?” tangis sesal Salim
“Sudah pak, Zahra sudah bahagia di sana.” Aminah pun menenangkan seakan dia tak berdosa bahwa sedikit banyaknya luka yang ada di tubuh Zahra adalah ulahnya.


Dalam duka Ali memberanikan diri untuk mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi dengan Zahra.
“Bapak...” tutur kata lembut mengawalinya “pak, saya mau bererita sedikit tentang Zahra, boleh kah?” lanjut dengan tanyanya
Hanya sebuah anggukan yang menjawab tanya itu.
“Sebelumnya saya minta maaf, kalau dalam keadaan duka ini saya bicara yang akan tak mengenakan hati pak salim. Saya merasa sangat kehilangan sama seperti yang bapak rasakan, karena sayapun menintai Zahra. Namun takdir berkata lain Zahra telah mendahului kita. Zahra lebam bukan karena terjatuh.”
Betapa kagetnya pak Salim mendengar cerita Ali “ Maksudmu apa?”
Terusnya “ Itu semua karena ulah isteri dan anak tiri pak salim”
Semua yang Zahra ceritakan ia eritakan pula kepala Salim.

Betapa marahnya Salim setelah mendengar cerita tersebut.
“Aminah, apa yang telah kau lakukan terhadap anakku?” tanyanya dengan nada tinggi
“Maksudmu apa pak aku tak mengerti?” Jawab Aminah yang sudah panik karena takut suaminya sudah tau apa yang diperbuatnya.
“Sudahlah, aku sudah tahu semuanya. Zahrah meninggal bukan karena terjatuh, tapi karena ulhmu yang selalu menganiaya dia kan?”
“Ampun pak, aku tak bermaksud sejahat itu?” rengekan Aminah
Namun, bubur tak dapat dijadikan nasi kembali.

Akhirnya, Pak Salim meneraikan Aminah dan memilih untuk menduda untuk selamanya.
Ali yang sangat menintai Zahrah, hanya dapat mengenang masa-masa ketika bersama tawa, anda, dan duka Zahra dalam Do’a.

Rabu, 12 Maret 2014

HANYA BATU ATAU ILMU?



BATU ILMU

Batu. . .
Bolehkah aku berguru padamu?
Apa kau tak mau menjawab pintahku?
Atau memang aku yang tak paham atas jawabmu?
Bukan aku tak mau
Atau tak menghiraukan
Namun, apa yang mau kau pelajari dari ku?
Aku ini keras...
Hitam legam...
Dan tak gampang untuk di bentuk
Itu memang sifat mu
Bukan masalah bagi ku
Hitam di luar tak hitam di dalam
Keras bukan keras kepala
Kata kau tak mudah dibentuk?
Itu menandakan pendirianmu
Lalu apa lagi yang akan kau sangkal..?