ZIARAH UNTUK
ZAHRA
Ku
usap lembut
Ku
ium aroma wangi
Rumah
terakhirmu
Ku
lantunkan ayat-ayat terindah untukmu
Bahagianya
aku bisa menintai dan menyayang
Walau
Bibirku
belum teruap sedikitpun apa yang hati rasa
Namun
Aku
tahu
Aku
yakin
Engkau
tahu yang selama ini aku rasa
Zahrah...
Ziarah
yang dapat aku lakukan
Untukmu
Sayap-sayap
surgaku
ZIARAH
UNTUK ZAHRA
Seindah namanya secantik
orangnya sesantun sifatnya itu lah Zahra, tidak menghalangi semangatnya walau
dia telah ditinggal ibunya 16 tahun yang lalu. Bukan karena tak sayang bukan
karena ekonomi tapi memang itu takdir sang kuasa illahi. Zahra kecil adalah
sosok periang, mandiri dan pandai, dia dituntut mandiri karena hanya bersama
ayahnya ia tinggal.
Ayahnya adalah seorang
pedagang yang berkeliling dari desa satu ke desa lainnya. Sebut saja namanya
Salim, suatu ketika terlintas dalam fikirnya “Anakku sendiri di rumah, aku
terus berkeliling haruskah aku menikah lagi untuk teman dia di rumah?”. Tak
sengaja dalam perjalanan pulang Salim pun bertemu dengan seorang janda yang tak
asing baginya di warung makan, ternyata janda manis tersebut adalah Aminah.
“Aminah..?” sapaan dia dengan penuh tanda tanya.” Apa benar engkau Aminah?” Lanjutnya.
“Aminah..?” sapaan dia dengan penuh tanda tanya.” Apa benar engkau Aminah?” Lanjutnya.
“Benar” dengan singkat
jawabnya.
“masih ingatkah kau
dengan teman kecilmu ini?” Salimpun melanjutkan tanyanya
“Aku kurang ingat,
kalau boleh tahu siapa engkau”? Aminah berbalik tanya
“Halim” jawabnya dengan
penuh semangat
Berfikir sejenak...
“Oh.... Halim” sedikit
ingat Aminah tentang kawan keilnya tersebut, “Bagaimana kabarmu dan keluargamu”
sambung tanyanya
“seperti yang kau
lihat, aku masih seperti dulu tak berubah sedikitpun” jawabnya dilanjutkan
tanya kembali “Ini anakmu”?
“iya, namanya Fathimah, kau punya anak berapa?”
“iya, namanya Fathimah, kau punya anak berapa?”
“Seperti kau, aku pun
mempunyai gadis manis yang bernama Zahra”
Dialog antara kawan
lama pun mulai melebar kemana-mana, dari mulai masa keil mereka sampai sekarang
yang berstatus Janda dan Duda.
Singkat erita, karena
merasa Aminah adalah sosok pengganti ibu Zahra maka tak segan lagi dia bertanya
kepada Aminah “Mau kah engkau ikut ke gubugku untuk menjadi pengganti ibu
Zahra”
Sejenak terdiam..
Bertanyaan pun berulang
kembali “ Mau atau tidak Aminah?”
Diamnya Aminah terulang
kembali.
“Apa kau juga mau
menjadikan Fatimah seperti anakmu sendiri?” tanya Aminah
Dengan tegas “Tentu
saja, anakmu anakku dan begitu pun anakku adalah anakmu”.
“Baik lah aku mau”
dengan senyuman mengembang dari bibirnya.
Samapai lah di rumah.
“Assalamualaikum” Salim
memberi salam dengan ketukan pinyu. . . tok tok tok
Sahut salam terdengar
dari dalam rumah “Wa’alaikumsalam”
“Zahrah, bapak pulang”
lanjut Salim memberi tahu
Pintu pun terbuka dan
nampak lah seorang remaja antik dari baliknya.
“Bapak, ayo masuk pak”
dengan gembira sambutnya
“iya. . . iya. . .iya,
lihat siapa yang bapak bawa pulang”.
Tanya Zahra pun terucap
“Siapa ibu dan anak ini pak?”
“ini ibu Aminah yang
nanti akan menemanimu selama bapak pergi dan juga itu Fatimah yang akan menjadi
saudaramu.” Jelasnya
Bingung berampur dalam
fikirnya “aku harus bagaimana satu sisi aku senang melihat bapak bahagia, namun
satu sisi pun aku belum bisa menerima sosok pengganti ibu”.
“Zahrah, kenapa terdiam
begitu, senangkan punya ibu dan saudara?” uap Salim
Jawabnya pun hanya
dengan mengganguk dan senyuman, walau tak tahu apa yang tergambar dalam
senyumnya. “Ayo, masuk” lanjutnya
Risau hatinya karena
takut jika kasih sayang ayahnya kepada ibu titinya akan mengalahkan kasih
sayang terhadap dirinya.
Suatu sore..
Zahrah duduk di pinggir
sungai masih dengan kekhawatirannya.
“Zahrah. . . Zahrah. .
.” Panggil sahabatnya
Tidak dengar atau tidak
menghiraukan panggilan itu, Zahrah tetap diam
“aaah. . .” kagetnya,
ketika ditepuk bahunya itu
“iih.. ngagetin Zahra
aja” lanjutnya dengan wajah kesal
“Gimana sih, di panggil
engga nengok” tanya sahabatnya
“Masa?” Zahra pun
mengelak “Aku tak mendengar suara kamu memanggilku”
“ya sudahlah. Kenapa
dengan kau duduk sendiri dan melamun seperti itu?” kembali bertanya
“Aku bukan melamun,
namun aku hanya menikmati indahnya desaku saja” Elaknya Zahra
“jujur itu lebih baik”
lajut Sahabatnya
Akhirnya, Zahra
meneritakan apa yang sedang ia fikirkan dan yang ia alamuni kepada sahabatnya
yang bernama Ali.
Ali adalah anak dari
kepala desa, yang sejak keil menjadi sahabat Zahra. Namun seiring mereka tumbuh
dewasa Ali menyadari bukan hanya rasa sayang sebagai sahabat ada rasa lain yang
terus bergelayut dalam hatinya.
“Begitu li.” Selesai
meneritakan kekhawatirannya “Aku harus bagaimana?” tanya Zahra
“Kenapa harus menakutkan hal yang belum tentu terjadi?, ibu tiri itu tak selalu jahat atau akan merebut kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya, jadi menurutku jalani saja dan tetap optimis, kata guru ngajiku sih begitu?”
“Kenapa harus menakutkan hal yang belum tentu terjadi?, ibu tiri itu tak selalu jahat atau akan merebut kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya, jadi menurutku jalani saja dan tetap optimis, kata guru ngajiku sih begitu?”
“hemmm. . . guru ngajimu guru ngajiku juga li” sambung
Zahra
“hahahaha” tawa pun
terdengar dari keduanya.
Seperti biasa, Ayah
Zahrah harus berkeliling untuk berdagang.
“Bu, titip Zahra dan
Fatimah.” Pinta Salim
“Iya pak, ibu pasti
menjaga anak kita selama bapak menari nafkah” jawab Aminah
Salim pun berpamitan
dengan Zahra, Fatimah dan juga isterinya Aminah
“Wassalamualaikum”
pamitnya
“wa’alaikumussalam”
jawab ketiga wanita tersebut
“Hati-hati pak, epat
pulang” lanjut Zahrah
Selepas Salim pergi
“Ayo epat masuk, rapikan rumah dan ui semua pakaian juga piring ya Zahra” akap
ibu tirinya.
Apa yang ditakutkan pun
menjelma menjadi kenyataan pahit.
“Kenapa hanya Zahrah
bu? Kak Fatimah tak membantuku?” Zahra pun bertanya dengan heran
“Membantumu? Engga mau,
nanti badanku pegal-pegal semua” Sahut Fatimah
Dilanjut ibunya “iya,
ngapain kamu mengajak kakakmu, biarkan dia istirahat”
Sangkal Zahra”Tapi bu.
. .” “Sudah epat kerjakan, banyak omong tak akan selesai-selesai” tegas ibu
Aminah
“Baik bu.” Kepasrahan
Zahra
Zahra pun dengan ikhlas
menyelesaikan semua tugas yang dibri ibunya, tak ada keluhan yang keluar dari
bibirnya, namun hanya sebuah harapan menanti ayahnya pulang dan akan bererita
keluh kesahnya.
Hari demi hari pun dia
lalui dengan emohan dari ibu dan kakak tirinya, sampai ayahnya pulang
keadaanpun berubah normal kembali, namun seperti mimpi buruk menghampirinya
jika ayahnya berdagang kembali.
Hanya Ali tempat Zahrah
bererita, namun Ali pun hanya bisa menjaga Zahra untuk beberapa detik saja,
karena ia tak kuasa untuk memberi tahu ayahnya Zahra tentang kelakuan Ibu dan
Kakak tirinya. Tak ada bukti yang bisa dia buktikan.
Lambat tahun berganti,
karena mendapat siksaan dari Ibu dan kakak tirinya, fisik Zahra pun melemah dan
terus melemah.
Sampai akhirnya nama
Zahra binti Salim tertulis dalam Batu Nisan.
Ketika Salim pulang,
hanya tubuh Zahrah yang sudah kaku yang ia dapat dengan luka lebam di badan.
“Kenapa dengan anakku,
bangun nak bapak sudah pulang, katanya kau ingin bergurau dengan ayahmu ini?”
tangis sesal Salim
“Sudah pak, Zahra sudah
bahagia di sana.” Aminah pun menenangkan seakan dia tak berdosa bahwa sedikit
banyaknya luka yang ada di tubuh Zahra adalah ulahnya.
Dalam duka Ali
memberanikan diri untuk mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi dengan Zahra.
“Bapak...” tutur kata
lembut mengawalinya “pak, saya mau bererita sedikit tentang Zahra, boleh kah?”
lanjut dengan tanyanya
Hanya sebuah anggukan
yang menjawab tanya itu.
“Sebelumnya saya minta
maaf, kalau dalam keadaan duka ini saya bicara yang akan tak mengenakan hati
pak salim. Saya merasa sangat kehilangan sama seperti yang bapak rasakan, karena
sayapun menintai Zahra. Namun takdir berkata lain Zahra telah mendahului kita.
Zahra lebam bukan karena terjatuh.”
Betapa kagetnya pak
Salim mendengar cerita Ali “ Maksudmu apa?”
Terusnya “ Itu semua
karena ulah isteri dan anak tiri pak salim”
Semua yang Zahra ceritakan
ia eritakan pula kepala Salim.
Betapa marahnya Salim
setelah mendengar cerita tersebut.
“Aminah, apa yang telah
kau lakukan terhadap anakku?” tanyanya dengan nada tinggi
“Maksudmu apa pak aku
tak mengerti?” Jawab Aminah yang sudah panik karena takut suaminya sudah tau
apa yang diperbuatnya.
“Sudahlah, aku sudah
tahu semuanya. Zahrah meninggal bukan karena terjatuh, tapi karena ulhmu yang
selalu menganiaya dia kan?”
“Ampun pak, aku tak
bermaksud sejahat itu?” rengekan Aminah
Namun, bubur tak dapat
dijadikan nasi kembali.
Akhirnya, Pak Salim
meneraikan Aminah dan memilih untuk menduda untuk selamanya.
Ali yang sangat
menintai Zahrah, hanya dapat mengenang masa-masa ketika bersama tawa, anda, dan
duka Zahra dalam Do’a.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar