Senin, 17 Maret 2014

ZIARAH UNTUK ZAHRA



ZIARAH UNTUK ZAHRA
Ku usap lembut
Ku ium aroma wangi
Rumah terakhirmu
Ku lantunkan ayat-ayat terindah untukmu
Bahagianya aku bisa menintai dan menyayang
Walau
Bibirku belum teruap sedikitpun apa yang hati rasa
Namun
Aku tahu
Aku yakin
Engkau tahu yang selama ini aku rasa
Zahrah...
Ziarah yang dapat aku lakukan
Untukmu
Sayap-sayap surgaku







ZIARAH UNTUK ZAHRA

Seindah namanya secantik orangnya sesantun sifatnya itu lah Zahra, tidak menghalangi semangatnya walau dia telah ditinggal ibunya 16 tahun yang lalu. Bukan karena tak sayang bukan karena ekonomi tapi memang itu takdir sang kuasa illahi. Zahra kecil adalah sosok periang, mandiri dan pandai, dia dituntut mandiri karena hanya bersama ayahnya ia tinggal.
Ayahnya adalah seorang pedagang yang berkeliling dari desa satu ke desa lainnya. Sebut saja namanya Salim, suatu ketika terlintas dalam fikirnya “Anakku sendiri di rumah, aku terus berkeliling haruskah aku menikah lagi untuk teman dia di rumah?”. Tak sengaja dalam perjalanan pulang Salim pun bertemu dengan seorang janda yang tak asing baginya di warung makan, ternyata janda manis tersebut adalah Aminah.
“Aminah..?” sapaan dia dengan penuh tanda tanya.” Apa benar engkau Aminah?” Lanjutnya.
“Benar” dengan singkat jawabnya.
“masih ingatkah kau dengan teman kecilmu ini?” Salimpun melanjutkan tanyanya
“Aku kurang ingat, kalau boleh tahu siapa engkau”? Aminah berbalik tanya
“Halim” jawabnya dengan penuh semangat
Berfikir sejenak...
“Oh.... Halim” sedikit ingat Aminah tentang kawan keilnya tersebut, “Bagaimana kabarmu dan keluargamu” sambung tanyanya
“seperti yang kau lihat, aku masih seperti dulu tak berubah sedikitpun” jawabnya dilanjutkan tanya kembali “Ini anakmu”?
“iya, namanya Fathimah, kau punya anak berapa?”
“Seperti kau, aku pun mempunyai gadis manis yang bernama Zahra”
Dialog antara kawan lama pun mulai melebar kemana-mana, dari mulai masa keil mereka sampai sekarang yang berstatus Janda dan Duda.
Singkat erita, karena merasa Aminah adalah sosok pengganti ibu Zahra maka tak segan lagi dia bertanya kepada Aminah “Mau kah engkau ikut ke gubugku untuk menjadi pengganti ibu Zahra”
Sejenak terdiam..
Bertanyaan pun berulang kembali “ Mau atau tidak Aminah?”
Diamnya Aminah terulang kembali.
“Apa kau juga mau menjadikan Fatimah seperti anakmu sendiri?” tanya Aminah
Dengan tegas “Tentu saja, anakmu anakku dan begitu pun anakku adalah anakmu”.
“Baik lah aku mau” dengan senyuman mengembang dari bibirnya.

Samapai lah di rumah.
“Assalamualaikum” Salim memberi salam dengan ketukan pinyu. . . tok tok tok
Sahut salam terdengar dari dalam rumah “Wa’alaikumsalam”
“Zahrah, bapak pulang” lanjut Salim memberi tahu
Pintu pun terbuka dan nampak lah seorang remaja antik dari baliknya.
“Bapak, ayo masuk pak” dengan gembira sambutnya
“iya. . . iya. . .iya, lihat siapa yang bapak bawa pulang”.
Tanya Zahra pun terucap “Siapa ibu dan anak ini pak?”
“ini ibu Aminah yang nanti akan menemanimu selama bapak pergi dan juga itu Fatimah yang akan menjadi saudaramu.” Jelasnya
Bingung berampur dalam fikirnya “aku harus bagaimana satu sisi aku senang melihat bapak bahagia, namun satu sisi pun aku belum bisa menerima sosok pengganti ibu”.
“Zahrah, kenapa terdiam begitu, senangkan punya ibu dan saudara?” uap Salim
Jawabnya pun hanya dengan mengganguk dan senyuman, walau tak tahu apa yang tergambar dalam senyumnya. “Ayo, masuk” lanjutnya
Risau hatinya karena takut jika kasih sayang ayahnya kepada ibu titinya akan mengalahkan kasih sayang terhadap dirinya.

Suatu sore..
Zahrah duduk di pinggir sungai masih dengan kekhawatirannya.
“Zahrah. . . Zahrah. . .” Panggil sahabatnya
Tidak dengar atau tidak menghiraukan panggilan itu, Zahrah tetap diam
“aaah. . .” kagetnya, ketika ditepuk bahunya itu
“iih.. ngagetin Zahra aja” lanjutnya dengan wajah kesal
“Gimana sih, di panggil engga nengok” tanya sahabatnya
“Masa?” Zahra pun mengelak “Aku tak mendengar suara kamu memanggilku”
“ya sudahlah. Kenapa dengan kau duduk sendiri dan melamun seperti itu?” kembali bertanya
“Aku bukan melamun, namun aku hanya menikmati indahnya desaku saja” Elaknya Zahra
“jujur itu lebih baik” lajut Sahabatnya
Akhirnya, Zahra meneritakan apa yang sedang ia fikirkan dan yang ia alamuni kepada sahabatnya yang bernama Ali.

Ali adalah anak dari kepala desa, yang sejak keil menjadi sahabat Zahra. Namun seiring mereka tumbuh dewasa Ali menyadari bukan hanya rasa sayang sebagai sahabat ada rasa lain yang terus bergelayut dalam hatinya.
“Begitu li.” Selesai meneritakan kekhawatirannya “Aku harus bagaimana?” tanya Zahra
“Kenapa harus menakutkan hal yang belum tentu terjadi?, ibu tiri itu tak selalu jahat atau akan merebut kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya, jadi menurutku jalani saja dan tetap optimis, kata guru ngajiku sih begitu?”
“hemmm. . .  guru ngajimu guru ngajiku juga li” sambung Zahra
“hahahaha” tawa pun terdengar dari keduanya.

Seperti biasa, Ayah Zahrah harus berkeliling untuk berdagang.
“Bu, titip Zahra dan Fatimah.” Pinta Salim
“Iya pak, ibu pasti menjaga anak kita selama bapak menari nafkah” jawab Aminah
Salim pun berpamitan dengan Zahra, Fatimah dan juga isterinya Aminah
“Wassalamualaikum” pamitnya
“wa’alaikumussalam” jawab ketiga wanita tersebut
“Hati-hati pak, epat pulang” lanjut Zahrah

Selepas Salim pergi “Ayo epat masuk, rapikan rumah dan ui semua pakaian juga piring ya Zahra” akap ibu tirinya.
Apa yang ditakutkan pun menjelma menjadi kenyataan pahit.
“Kenapa hanya Zahrah bu? Kak Fatimah tak membantuku?” Zahra pun bertanya dengan heran
“Membantumu? Engga mau, nanti badanku pegal-pegal semua” Sahut Fatimah
Dilanjut ibunya “iya, ngapain kamu mengajak kakakmu, biarkan dia istirahat”
Sangkal Zahra”Tapi bu. . .” “Sudah epat kerjakan, banyak omong tak akan selesai-selesai” tegas ibu Aminah
“Baik bu.” Kepasrahan Zahra

Zahra pun dengan ikhlas menyelesaikan semua tugas yang dibri ibunya, tak ada keluhan yang keluar dari bibirnya, namun hanya sebuah harapan menanti ayahnya pulang dan akan bererita keluh kesahnya.

Hari demi hari pun dia lalui dengan emohan dari ibu dan kakak tirinya, sampai ayahnya pulang keadaanpun berubah normal kembali, namun seperti mimpi buruk menghampirinya jika ayahnya berdagang kembali.
Hanya Ali tempat Zahrah bererita, namun Ali pun hanya bisa menjaga Zahra untuk beberapa detik saja, karena ia tak kuasa untuk memberi tahu ayahnya Zahra tentang kelakuan Ibu dan Kakak tirinya. Tak ada bukti yang bisa dia buktikan.
Lambat tahun berganti, karena mendapat siksaan dari Ibu dan kakak tirinya, fisik Zahra pun melemah dan terus melemah.
Sampai akhirnya nama Zahra binti Salim tertulis dalam Batu Nisan.
Ketika Salim pulang, hanya tubuh Zahrah yang sudah kaku yang ia dapat dengan luka lebam di badan.
“Kenapa dengan anakku, bangun nak bapak sudah pulang, katanya kau ingin bergurau dengan ayahmu ini?” tangis sesal Salim
“Sudah pak, Zahra sudah bahagia di sana.” Aminah pun menenangkan seakan dia tak berdosa bahwa sedikit banyaknya luka yang ada di tubuh Zahra adalah ulahnya.


Dalam duka Ali memberanikan diri untuk mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi dengan Zahra.
“Bapak...” tutur kata lembut mengawalinya “pak, saya mau bererita sedikit tentang Zahra, boleh kah?” lanjut dengan tanyanya
Hanya sebuah anggukan yang menjawab tanya itu.
“Sebelumnya saya minta maaf, kalau dalam keadaan duka ini saya bicara yang akan tak mengenakan hati pak salim. Saya merasa sangat kehilangan sama seperti yang bapak rasakan, karena sayapun menintai Zahra. Namun takdir berkata lain Zahra telah mendahului kita. Zahra lebam bukan karena terjatuh.”
Betapa kagetnya pak Salim mendengar cerita Ali “ Maksudmu apa?”
Terusnya “ Itu semua karena ulah isteri dan anak tiri pak salim”
Semua yang Zahra ceritakan ia eritakan pula kepala Salim.

Betapa marahnya Salim setelah mendengar cerita tersebut.
“Aminah, apa yang telah kau lakukan terhadap anakku?” tanyanya dengan nada tinggi
“Maksudmu apa pak aku tak mengerti?” Jawab Aminah yang sudah panik karena takut suaminya sudah tau apa yang diperbuatnya.
“Sudahlah, aku sudah tahu semuanya. Zahrah meninggal bukan karena terjatuh, tapi karena ulhmu yang selalu menganiaya dia kan?”
“Ampun pak, aku tak bermaksud sejahat itu?” rengekan Aminah
Namun, bubur tak dapat dijadikan nasi kembali.

Akhirnya, Pak Salim meneraikan Aminah dan memilih untuk menduda untuk selamanya.
Ali yang sangat menintai Zahrah, hanya dapat mengenang masa-masa ketika bersama tawa, anda, dan duka Zahra dalam Do’a.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar